Berbagi Karsa 1 "Dari Musik Band Ke Musik Teater

15.09 Add Comment
Berbagi karsa part 1 "Dari band ke musik teater"
Berbagi karsa, berbagi kata dan rasa dari pengalaman.

Dalam berbagi karsa 1 ini, saya akan membagikan sebuah pengalaman dari "Bang Alam" sapaan kesehariannya dilingkungan teater tempat beliau berkecimprung. Pengalamannya dari musik band kepanggung musik teater pertama kali.


Pada awalnya, segala sesuatu memang tidak secara tiba-tiba ada atau secara spontan. Melainkan selalu ada proses dan proses dari sebab menuju akibat "Hukum Alam". Dari sini bang Alam berangkat mulai sejak SMP sudah tertarik dengan Musik Band. Untuk mengenal musik band sendiri bang Alam berangkat dari mendengarkan kawan-kawannya. Kemudian, ketika SMA bang Alam baru mencoba bermain musik. Untuk pertama kali membawakan lagu-lagu bergenre POP dari band peterpan yang berjudul bintang disurga dan melebarkan sayap manggung keberbagai acara-acara. Mulai dari festival musik hingga acara-acara kondangan. Bang Alam bergabung dengan kawan-kawannya dan membentuk sebuah band yang diangkat dari hasrat jiwa para personilnya dalam bermusik yakni Soulvegio. Setelah lulus SMA bang Alam kemudian memperdalam ilmunya di bidang musik. Sehingga pengetahuannya tentang genre musik semakin meningkat hingga genre-genre yang biasa dibawakan dream theater dan band-band internasional lainnya. Kemudian memainkan beberapa genre yang berbeda-beda sebagai variasi bentuk musik yang dibawakan. Pengalaman bermusik sejak SMA hingga saat ini cukup dibilang sangat serius untuk minat bang Alam dalam bermusik. Namun, saat ini keinginan untuk bermusik sedikit menurun dalam bermain disebuah band.

Sejak lulus SMA dan masuk kedunia perguruan tinggi mulailah muncul hasrat untuk memahami bidang seni yang lainnya bahkan aliran-aliran dalam semua bidang seni sekaligus aliran dalam seni musik. Mulai dari teater pengalaman-pengalaman dari semua bidang seni terkumpul bahkan aliran musik bergenre etnik dan sebagainya. Dari sinilah awal mula bang Alam mulai menyeriusi bidang musik untuk panggung pertunjukan teater. Awal-awal saat itu, memang begitu besar kesusahan dan kesulitan yang dihadapi. Terlebih perihal peenyesuaian karena memang musik dipanggung teater lebih mengutamakan fungsinya sebagai jembatan suasana untuk aktor maupun penonton dipanggung teater memasuki suasana yang sudah ditentukan sutradara. Selain itu, sedikit susah karena bentukan musik teater dengan musik band sangat berbeda jauh. Musik band lebih mencari alunan irama yang disebut dengan aransemen sedangkan musik panggung lebih untuk mencari alunan irama yang ditunjukan untuk membawa suasana. Untuk musik panggung dan film pun sebetulnya mirip-mirip. Bagi bang Alam sendiri bermain musik band maupun panggung teater sebetulnya sama-sama menarik dam mempunyai kepuasan tersendiri. Basicnya pun sama untuk musik apa pun. Untuk bentukannya jelas berbeda anara band dan panggung teater.

"Bermain musik untuk teater itu seru. Ketika mengiringi emosinya si aktor. Musik dipanggung teater itu lebih berkesan mendorong suasana, situasi membawa aktor dan para penikmat untuk menikmati pertunjukan agar lebih hidup dan real" kata Bang Alam ketika saya wawancarai dikediaman beliau didaerah singosari.

(Malang/30/12/16)

Antara Lusa Dan Kemarin

13.35 2 Comments
Antara Lusa Dan Kemarin
kira-kira ada apa dengan lusa dan kemarin ?
lalu, diantara keduanya ada apa dengan sekarang ?
illustrasi via google
Kemarin aku makan dengan margarin
lalu esok aku makan dengan karin
dan sekarang aku sedang termengu merindu
dulu tak seperi kini yang sendu

rindu tak selalu sendu
sendu tak melulu merindu
semeringah tawa cetus
yang menjejal terlebih dahulu sebelum meletus

durinya kemarin itu 
dan kembangnya kini itu
sendu yang baru ku cerita
dan cetus merekah tawa

kemarin pandai bermain kata
esok pandai bermain hati
sekarang sibuk mencari makna
sehingga lupa mecermati

kemarin merayu nona
esok merayu janda
sekarang bingung mau kemana
pintu rumah masih terkunci

melihat jam dinding belum berdering
seperti menanti jemuran yang sebentar lagi kering
esok dan lusa tak pernah ada
ketika kini hanya cerita

tidak ada apa-apa yang perlu dikhawatirkan untuk lusa dan kemarin. karena memang, hari ini kau baik-baik saja.

Secawan Rindu Randu

04.37 Add Comment
Secawan Rindu Randu
Secawan Rindu Randu
                Karya : Ridho Mln
illustrasi via google

"Badai, dalam gelapnya malam. 
Tersibak oleh cahaya rembulan. 
Bidadari embun memetik jumpa 
pada ranum pertemuan sepersinggah"
Sepucuk surat terselip diantara cawan yang terbalik berjejer rapi diatas meja makan. Piring-piring serta sendok, garpu dan pisau makan mengkilat bersih menumpuk manis dirak-rak piring.

Dari balik tirai putih, yang membalut jendela kaca. Cahaya senja fajar mengintip Randu yang sedang pulas. Berbelit selimut putih ia nampak nyenyak dan berantakan. Ruangan serba putih begitu kacau dari salah satu sudut kamar.

Diatas meja, tertata rapi buku-buku. sepertinya ia seorang penyuka buku. Meskipun tak sering beberapa buku habis dibacanya. Disetiap sisi meja, terdapat juga beberapa potret. Salah satunya, sosok seorang perempuan mengenakan baju terusan berwarna putih polos era 80an. Dengan rambut panjang yang dibiarkan tergurai. Dan disebelahnya, jam waker siap menggaduh.

Suara alarm memenuhi seisi ruangan. Dentingnya memekakan kupingnya.

"Ndu, tolong alarmnya" dari balik selimut yang membelit, dengan bantal menutupi sebagian kepalanya.

Tak ada jawaban, dari sekitarnya. Ia hanya terbaring dan menahan.

"Windu, tolong!!!" Gerayangan suaranya memecah menyatu dengan kegaduhan. Dadanya yang bidang bangkit dari setengah kesadarannya.  Bergerak menghentikan kegaduhan yang bersumber dari alarmnya.

"Ndu, kamu dimana ?" Tak beranjak, suaranya seolah menelusuri disetiap sudut ruangan mencari.

Rumah itu nampak sepi dan terawat. Dengan dominan putih yang mencolok. Tak jarang beberapa orang merasa kagum atas bangunan dan dekorasinya. Yang terletak disebuah perumahan dekat dengan Idjen Boulevard.

Kini, kesadarannya mulai diambang batas. Langkah kakinya kokoh menelusuri setiap petak bangunan itu. Diruang tengah, segelas kopi coklat terparkir manis dimeja dekat sofa. Semilir aroma Windu terhuyung angin sepoi.

Dihirupnya sejenak, tiba-tba diluar nampak mendung, guntur menggelegar. Hujan pun mengguyur.

"Kemana, Ndu ?" Kekosongan membuatnya semakin bertanya-tanya.

Diangkatnya secawan kopi beraroma coklat bersama hangat Randu melangkah. Menapaki beberapa petak bangunan yang tak asing. Tubuhnya berhenti paa ruang yang disukai Windu. Hujan menderas, langit menghitam.

Gerakannya memelan, langkahnya terkatup-katup. Jantungnya berdebar pelan, tangannya menjamah singkat pada sepucuk surat yang terselip diantara cawan.

Matanya membinar, gemetar bibirnya membaca lirih dalam hati. Matanya mengeja, merangkul kata demi kata.

"Windu gak bisa, bang. Windu sayang sama abang. Windu gak mau abang kecewa. Tapi, Windu lebih gak mau lagi bikin abang jadi makin tersesat. Windu terpaksa pergi, untuk bang Randu. Lain kali, kita ketemu lagi dengan keadaan yang berbeda dan lebih baik dari saat ini. Salam hangat serta sayang dari kekasihmu, sekaligus adik kembarmu. Windu Wijiastuti".

The End

Merah, Kuning dan Jingga..

04.26 Add Comment
Merah, Kuning dan Jingga..

illustrasi via google
"Bubuih bulan, angin menari...
Semilir embun turun berjatuhan...
Bubuih bulan, dedaunan melambai..
Semilir hujan turun berdesakan"

Subuh itu dingin. Embun bekas semalam bertengger manis direrumputan. Aroma tanah basah sehabis dihujam hujan semalam. Menjadi tanda cerah pagi ini.

Menyumbul mentari malu-malu dari balik bukit dilembah gunung. Merah menyala tersibak jingga diantara kuning. Dingin sejuk jadi satu, tegas panas jadi sayu.

Kekuatan adalah merah, meski merah tak selalu panas. Dingin yang merah menjadi amarah bagi pagi. Menyikut ngilu bagian pertulangan.

Pagi yang cerah sejuk dan hangat meski dingin dibalik bukit terhimpit cahayanya.

Menjadi keceriaan lambang dari warna kuning yang serta merta senang menyinari berkolaborasi hawa menjadi sejuk karena panas dan dingin.

Jingga menjadi sejuk. Hati tentram, memandang langit penuh mesra. Sungai bening mengalir dari gunung. Tak sabar sore datang menjelang. Kejinggaan merentangkan tangan siap memeluk hati yang temaran.

"Dinda, bersamamu seperti mengantongi bintang. Matahari disiang hari dan bulan dimalam hari. Dinda, selepas pergi dan sekembali pulang. Seperti menjumpai senja dipagi dan sore hari."

"Akang, suara angsa sedikit parau. Suara bangau sedikit bening. Akang, yang pandai merayu. Selalu menentramkan hati eneng"

"Dinda, merahku dan kuningmu. Semoga selalu berpadu menjadi jingga"

"Akang, nyanyian bangau tak pernah letih menemani kita"

Langkah ku beradu dengan aspal. Kulit dengan lapis hem putih berseliweran dengan angin. Lagu lama terkulai kembali diujung kuping. Menemani hingga tiba diperaduan.

Rasa cinta mampu merubah lelah. Menjadi semangat yang membara. Rasa cinta mampu membuat duka. Menjadi suka yang membara. Rasa cinta melahirkan jingga pada merah dan kuning yang saling berpagutan diujung sana.

Bias merah memudar, karena cahaya itu gelombang. Gelombang perasaan yang ditangkap oleh rasa. Dipancarkan dari perilaku karena merasa. Cahaya adalah kita. 

Review Puisi Lomba Rektor Cup 2016

09.53 Add Comment
Review Puisi Lomba Rektor Cup 2016
Hari ini, selasa dua puluh dua november. Malang, sedikit sejuk dan cerah tentunya dipagi hari. Sedikit berbagi cerita tentang pengalaman saya menilai bebarapa lembar puisi dan naskah drama karya mahasiswa psikologi  yang saya baca-baca dari arsip milik adik sekaligus partner in friend. Untuk menilai sendiri sebetulnya saya jauh dari sosok seorang “penilai” sebab saya hanyalah seorang manusia yang dituntun sebagai seorang penikmat karya seni sastra (tulisan) maupun seni-seni yang lainnya. Saya tidak terlalu mengutip banyak quotes atau kutipan dari berbagai sumber atau tokoh-tokoh seniman yang ada di luar negeri maupun didalam negeri. Selain itu, saya juga tidak berpatokan pada pedoman kesusasteraan atau bahkan dramaturgi sekalipun. Lantas, saya menilai karya sastra dari mana ?. jelas, dari beberapa kriteria yang saya rasa cocok secara global atau general. Salah ? jelas tidak. It’s about style and pashion for enjoy the literacy of art. Kacau mata pelajaran bahasa inggris, khususnya grammar (R.I.P English). 

“yang unik yang asik” yep. Ini bukan tentang mainstream atau bukan. Ini tentang sesuatu yang lain dari yang lain. Sesuatu yang enggak biasa bahkan dari yang tidak biasa sekalipun. I hope, you know what i mean. Faking esol my grammar (R.I.P ENG lagi). 

Ada beberapa kriteria penulisan yang saya ikuti dari berbagai sumber penilaian karya sastra puisi dan naskah. Semisal, INOVASI: tentunya ada hal-hal yang berbau kebaruan, bukan kekinian yang kealay-alayan gitu. KREATIF: pastinya berkaitan tentang daya cipta yang hampir sama dengan Inovasi tapi jelas beda kok. ORIGINALITAS: yah, apalagi yang ini sudah pasti. Tapi sesuatu yang original Pastinya pun akan susah. sebab originalitas berarti seuatu yang asli dari diri seseorang tanpa adanya intervensi dari berbagai bentuk dan hal-hal semisal batin dan fisik. Di lain sisi, original juga berarti sesuatu yang bukan kopi paste entah itu piur atau sebagian. Like that lah pokoknya.
illustrasi via google

Mungkin tiga itu yang lebih masuk akal menurut saya. Dan tidak ada kemungkinan pun disemua bentuk karya sastra yang bentukannya secara general atau global. Untuk wabilkhususnya ada beberapa hal yang mengerucut juga. Semisal untuk puisi dari segi bentukan kalimat tersirat lewat yang tersurat. Atau yang tersurat dari yang tersirat. Dan sebagainya. Lantas, saya berjalan dengan prinsip “tak ada karya sastra yang baik dan buruk. Yang ada hanyalah karya sastra bagian dari manisfestasi kehidupan si penulis dan si pembaca”.

Oke, langsung saja. Saya tertarik dengan semua puisi-puisi karya mahasiswa psikologi UMM. Dari segi bentuk penyampaiannya dengan menggunakan gaya bahasa dan segala norma-norma pada penulisan karya seni puisi tanpa melupakan estetika serta etikanya.

Oleh Arinda Ika Saputri
inilah sajakku untuk pembelaan
Setitik goresan pena yang sering kau anggap kuno
Satu dua tiga kau ambil paksa
Tanah , laut, sumber makan
Tarian, bahkan kepercayaan

Apa maksudnya ? entahlah. Puisi ini bagus (ya kan sebab gak ada puisi yang gak bagus. Kan bagus itu relatif, cuks. Oh iya). Akan lebih baik masuk saya ketika menggunakan diksi serta gaya bahasa yang tidak biasa. Apa ini biasa ? sangat biasa sekali. Dari bentuknya penggalan ini seperti gagasan yang dipaksakan untuk dituliskan tanpa adanya proses penyisipan tiga hal diatas agar terlihat lain dari yang lain. Oke, lanjut ?

Oleh Najah Hamzah B.
“merdeka itu kami
Tapi, masihkah kami merdeka
Saat noda anak negeri masih berbekas ?
Mempersilahkan mereka masuk kembali
Atau mereka tak kan kembali pulang”

Akan lebih keren, kalau dibikin piggybacking concept. Karena pada dasarnya puisi adalah bentuk dari perasaan si penulis yang disalurkan lewat beberapa kata dalam bait yang disebut sajak.  Semua masalah penyampaian. 
Oleh Sri Wulan Dani
“rasa bersalah, matanya dibuka
Dia berkata, tapi tidak bersuara
Cukup hatinya yang tahu bicaranya
Cukup telinganya yang mendengarkannya”

Yep, puisi itu seperti itu. “dia berkata tapi tidak ada suaranya tapi dia berbunyi. Cukup hatinya saja yang tahu. Watever apa kata orang. 
Oleh Azha Hilwa N.
“bila berkata, kami yang kecil tak memiliki daya
Lalu untuk apa Tuhan melahirkan ratusan juta umat ditanah-NYA
Bila berseru, kami yang miskin tak punya senjata
Lalu untuk apa Tuhan menyiapkan samudra kehidupan dipulau-NYA”

Seperti kebanyakan naskah puisi karya mahasiswa psikologi UMM ini sepertinya kurang adanya pelepasan jiwa berfikir dalam imajinasi. Yang masih keliatan menapakan kakinya ditanah. Oke, next.
Oleh Muhammad Akbar Habibi
“ruang ruang dipersempit
Kami tak diberi spasi untuk berkembang
Perkembangan kami diatur
Malpraktek menjalar dimana mana”

Ini mantap pemilihan gaya bahasanya. Tapi sayang, liar dan kaku itu gak asik. Kita boleh suka sama pengarang. Tapi kalau bisa janganlah jadikan, pengarang itu sebagai patokan atau tauladan kita dalam menulis. Yang pantas di tauladankan itu Nabi Muhammad SAW.
Oleh Rizka S.N.R
“apa hanya prajurit tentara yang harus berperang ?
Cukup hatikah kalian relakan mereka untuk terus mengganti keegoisan para orang ?
Saat ini, darah tidak butuh dibayar dengan darah
Tapi dibayar oleh kecerdasan pemuda bangsa”

Hampir sama dari keseluruhan karya mahasiswa psikologi UMM yang saya baca. Permainan kata yang kurang liar dan bebas. Hanya saja, dalam bait puisi ini ada nasionalisme yang tersirat. Dalam dan kelam. Dari segi penulisan saya rasa sedikit kurang mengorek dan mengusik pemikiran pembaca. Bahkan saya pun begitu. Kalo gak terpaksa gak akan saya baca. Kalau gak terpaksa gak akan saya selami. (fakingesol gayanya si saya ini).

Oleh Muh Andi P.
“saat merah tak lagi berani
Saat putih tak lagi suci
Saat merah dan putih tak lagi disakralkan”

Untuk yang satu ini, it’s about time. Karena do’i membawa saat-saat yang merujuk pada waktu. Terkadang, kita perlu mengingatkan seseorang tentang sesuatu lewat beberapa hal yang mudah untuk diterima. Semisal, kamu sudah makan ? kata saya kepada dia. Lalu dia menjawab dengan kata belum. Lantas, apakah kita tidak akan makan bersama. Begitulah like a modus.
illustrasi via google
Dan spesial, sepenggal kalimat dari saya untuk anda para pembaca atau penikmat puisi. Sebagai penutupan untuk review saya kali ini. Sebenernya banyak banget ini puisi dari teman-teman mahasiswa psikologi UMM. Berhubung saya lagi males-malesnya jadi saya cantumin beberapa puisi yang terpenggal. (piss rek, pisuho no aku rapopo).

Saya ingin bercerita lewat sepenggal sajak. Semoga cukup mewakilkan.
“darah kita tentang perjuangan, meskipun aku ini bukan pejuang dan pahlawan” #dekorasikata

Merangkup dari tema yang ada tentang “nasionalisme” sekaligus merangkum bentukan dari naskah puisi karya temen-temen mahasiswa psikologi UMM.

Selamat berkarya dan jangan bosan untuk menulis apa lagi mengexplorasi.

Bincang Sore Putu Wijaya

16.54 Add Comment


Menulis dan menyutradarai, sebetulnya 2 hal yang berbeda namun saling berkaitan. Ane setuju sama  kata-katanya mbah putu. Karena segala hal-hal dalam dunia kete(a)teran wabil khususon menulis dan menyutradari sesuatu yang saling berkaitan. Art is the most make life be estetic. Mbuhlah, mungkin begitu ungkapan yang wow dari seorang yang nilai bahasa inggrisnya gak pernah lebih dari 70.

Diatas, ada video dari salihara yang membahas tentang “menulis dan menyutradarai dalam kegiatan bincang sore yan gdisampaikan mbah Putu Wijaya beberapa taun silam. Ane gak akan banyak cincong lagi. Just enjoy it.

Semoga bermanfaat dan gak salah paham.

Keaktoran Stanislavsky

16.34 Add Comment
Keaktoran Stanislavsky
Stanislavski dilahirkan dengan nama Konstantin Sergeievich Alexeyev di Moskwa dalam sebuah keluarga kaya. Pertama kali ia tampil dalam seni peran pada usia 7 tahun. Ia mengambil nama panggung Stanislavski pada awal kariernya (kemungkinan untuk menjaga reputasi keluarganya.) Dalam beberapa terjemahan, namanya ditulis "Konstantin Stanislavski".
illustrasi via wikipedia
you can catch them on disini

Beberapa prinsip pelatihan aktor dengan metode Stanislavsky, yaitu :
(1)        Aktor harus memiliki fisik prima, fleksibel, dan vokal yang terlatih dengan baik agar mampu memainkan berbagai peran.
(2)        Aktor harus mampu melakukan observasi kehidupan sehingga ia mampu menghidupkan akting, memperkaya gestur, serta mencipta vokal yang tidak artifisial. Observasi diperlukan agar aktor mampu membangun perannya.

(3)        Aktor harus menguasai kekuatan posisinya untuk menghadirkan imajinasinya. Imajinasi diperlukan agar aktor mampu membayangkan dirinya dengan karakter dan situasi yang diperankannya. Kemampuan berimajinasi adalah kemampuannya untuk mengingat kembali pengalaman masa lalunya yang dapat digunakan untuk mengisi emosi yang dimiliki oleh tokoh.


(4)        Aktor harus mengetahui dan memahami tentang naskah lakon. Penokohan, tema, jalinan cerita dramatik, dan motivasi tokoh harus dikembangkan aktor dan dijalin dalam suatu keutuhan karakter.

(5)        Aktor harus berkonsentrasi pada imaji, suasana dan kekuatan panggung.


(6)        Aktor harus bersedia bekerja secara terus-menerus dan serius mendalami pelatihan dan kesempurnaan diri dan penampilan perannya (Yudiaryani, 2002 : 243-244).


Dalam, sudut pandang saya yang menempatkan posisi aktor adalah manusia dengan hakekat manusia sebagai mahluk hidup dimuka bumi.  so, metode stanislavsky sangat cocok dan berkaitan dengan pepatah "dimana tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat puola" kalau gak salah begitu kalimatnya. atau "bertemanlah dengan penjual parfum, maka kamu akan kecipratan aromanya" proses mengalami dan merasakan. meskipun terkadang, apa yang dialami berbeda dengan apa-yang dirasakan setiap orang.

adapun, Rumusan sasaran-sasaran yang tepat menurut stanislavsky adalah:

(1)        Sasaran itu harus berada di sisi aktor di belakang lampu kaki. Sasaran itu harus terarah pada aktor-aktor kawan aktor bermain dan bukan pada penonton.

(2)   Sasaran-sasaran itu harus merupakan sasaran pribadi, tapi analog dengan watak yang aktor gambarkan.

(3)       Sasaran itu harus kreatif dan artistik, karena fungsinya adalah untuk memenuhi tujuan utama seni aktor, yaitu menciptakan kehidupan sukma manusia dan kemudian menyampaikannya dalam bentuk artistik.

(4)  Sasaran itu harus benar, sehingga aktor dan penonton bisa mempercayainya

(5)    Sifatnya harus begitu rupa, sehingga ia menarik dan menghiraukan aktor.

(6)        Ia harus jelas dan tipikal untuk peranan yang aktor mainkan. Dia tidak bisa membiarkan kekaburan-kekaburan. Ia harus terjalin dengan jelas dalam tenunan peranan aktor.

(7)        Ia harus mempunyai nilai dan isi yang dapat berhubungan dengan sosok dalam peranan aktor. Ia tidak boleh dangkal dan bersifat kulit saja.

(8)        Sasaran itu harus aktif hingga peranan aktor didorong maju dan tidak membiarkan dia macet (Stanislavsky, 1980 : 129).

kurang lebih, sedikit review yang ane copas dari blog sini. dan, sedikit ane tambahin beberapa pandangan ane.

Kukuh Wijayanti

22.30 3 Comments
Kukuh Wijayanti
SINOPSIS

Akhirnya, apa yang kita inginkan tercapai. Meski ada beberapa keinginan yang harus kita pangkas. Melalui beberapa adegan kehidupan yang telah kita lalui dengan berbagai macam kendala. Halangan dan rintangan yang didapati berasal dari jiwa dalam raga sendiri.

Berawal dari pujianmu yang membuatku sedikit lepas kendali. Kepala terasa penuh atas buaian kalimatmu. Hari-hari yang dijejali oleh awalan yang tak kunjung menemui titik akhir. Mulai dari proses berteater hingga proses kreatif dunia perfilman. Kita adalah aktor atas adegan perilaku keseharian. Dan, dari itu ada keharmonisan dalam diri kita. Hingga berujung darah kebangsawanan yang akhirnya menitik beratkan hubungan korelasi antara kita yang ku tanggalkan dialmari besi bersama kenangan masa lampau.

Cinta, sosial, agama dan pengetahuan. Yang awalnya menjadi pembatas antara logika dan perasaan menjadi bentuk satuan karena haras yang meretakan bagian-bagian pondasi keangkuhanku. Yang meluluhkan kekokohan dinding baja dihatimu.
illustrasi via pixabay

BAB 1

Hari ini sedikit terik, tak biasanya bagi daerah semi teropis yang selebihnya identik dengan dingin sehabis penghujan. Aroma tanah masih menyatu dengan bau tubuh yang masih hangat.

"Kau masih belum mandi ?". Tanya bahari menatapku dengan penuh kecurigaan.
"Tak salah lagi. Itu memang berasal dari tubuhku.".
"Sudah berapa minggu setelah kau ditolak mentah-mentah jum'at bulan desember lalu ?".
"Oh, seminggu setelahnya".
"Gila, hampir 2 bulan lewat". Teronjak ia tak menduga.
"Kalau sudah kenal, mungkin akan biasa" Cetusku.

Lusa, itu sedetik lagi. Tak begitu terasa hari yang dilewati tanpa kekosongan. "Lohan kemana ?" Sambut pak sutradara. "Mungkin terlambat lagi ?". "Sebaiknya kau gantikan saja" Sekiranya ucapanku menjadi solusi ngena untuk aktor pembantu yang hampir tak pernah hadir sebulan proses latihan. Bahari menampilkan ekspresi lucu bin jenaka tak mengiyakan saran dari aktor kelas kakap.

"Oke, har kau gantikan dia. Setelah ini ikut Sasongko ke dapur proses. Biar dia yang menggodok kamu" ujar sutradara.
"Apes, iya pak sut" dari balik kelugesannya menyetujui kata sutradara. Tatapannya menghunus kearahku.

"Kenapa bukan kau saja yang menggantikannya ?. Sebagai asisten sutradara sekaligus aktor utama, bukannya itu hal yang mudah ?"
"Kau fikir, tuhan menurunkan rahmat serta rezeki kemuka bumi ini untukku makan sendiri ?. Kau fikir hamba Tuhan hanya aku saja ?. Sudahlah, jangan banyak tanya jika hanya menambah nafsumu untuk menjebak" Kalimatku sedikit membuatnya tergelalak.
...
"Ko, gak ikut latihan lagi ?". Tanya dewi terheran memandangku menyungut rokok sambil bersender telanjang dada dipilar gazebo.
"Ini latihan dee. Coba kau lihat." Aku melempar pandanganku mengarah pada bahari yang sedang bermain imajinasi. "Gue ga ngerti maksud lo, Ko" wajah polos gadis itu terlalu lugu untuk berhadapan denganku.
"Jiancok, ayu-ayu kok lemot. Sebagai pelaku seni. Setidaknya hidup kita sudah bisa dikatakan latihan dee. Rokokku, bicaraku, tatapan mataku bahkan hembusan dan helaan nafas kita. Proses berlatih dee" tuturku membuatnya sedikit risih.
"Iyo wes iyo, lek asu wes ngomong gue bisa apa".

"Ini sudah belum ? Aku capek" bengok bahari memecah kecanggungan yang ku buat. "Iya, kalau capek istirahatlah. Jangan broadcast". Timpalku.

Setelah beberapa menit terdiam akibat kecanggungan yang ku buat. Sesekali menatap dalam ke arahku dan bahari. Dewi meletakan segelas kopi dan sebotol mineral disampingku kemudian menghilang.

"Evaluasi aku ko" pinta bahari.
"Imajinasimu kurang penjiwaan. Kalau kau melayang. Ya setidaknya kau visualkan lewat gerak atau vokal.".
"Nanti, orang mengira aku gila".
"Cuma orang gila yang mengira kau gila disini" bantahku. Ia menoleh sekitar dan mendapati masing-masing sibuk dengan jobdes produksi.

Kopi yang dibuat dewi tadi ku sentuh. Hangatnya masih tersimpan. Aroma khas yang begitu nikmat. Dan ada sedikit aroma parfum casablanca yang dikenakan dewi tersangkut dikopi yang ku sruput.

"Ini ada catetan buat kau pelajari dan kita ketemu sore ini sebelum gladi. Aku ada kelas konseling jam satu, nanti kita sambung lagi har." Tukasku mengakhiri sesi mentor kali ini.

BAB 2

Angin berhembus membawa aroma pada hidung yang menciumiku. Menghirup wangi tubuh, mengendus bukan mencumbu.
"Bau badan siapa nih ?!!!". Lelaki gemuk didepanku berdiri membentak.
"Kalau tidak suka ya jangan dicium". Ujarku pelan

"Anjrit. Bau lo ya ?". Katanya sambil membungkuk kearah ku. Posisi kami mirip di adegan film crow zero.

"Ternyata, kelakuan lo lebih busuk dari bau badan lo". Cetusnya mencari perkara.

Aku hanya terdiam tanpa melakukan apa-apa.

"Emang ya, anak teater dimana-mana selalu belagu, songong macam berandal, gembel dan gak jelas". Hinanya menambah suram suasana kelas.

"Ni bocah siapa sih ? Selama ane disini ga pernah liat ini orang. Ah, kacau." Dalam hatiku berucap. Batinku sedikit tak tenang. Namun, olah nafas selalu bisa jadi alternatif untuk meredam gejolak batin.

Sedikit miris, dengan ucapannya. Ingin sekali melempar bogem mentah pada bibirnya. Tapi, kenyataannya memang pelaku seni identik buruk dimata para masyarakat. Ya, walaupun pelaku seni saat ini belum pernah ada yang menjadi koruptor dan sejenisnya.

Kelas, terasa membosankan. Bukan karena materinya atau dosen pengampunya. Tapi, memang orang-orang didalamnya tidak benar-benar hidup. Meski suasana diskusi dibangun untuk lebih hidup. Tapi jiwa manusianya tak hidup. Mungkin kebiasaan-kebiasaan culturiahnya masih terbawa dan susah dilepas. Topeng-topeng yang digunakan masih terlalu kolot dan kaku. Terlalu mudah ditebak untuk model penipu awam.

"Sasongko, kamu ngelamun apa ?". Tiba-tiba dosen pengampu meledakan isi kepalaku. "Jan... Iya bu ? Saya, sasongko semester 12" Hampir keluar kata-kata mutiara dari bibirku. "Iya, ibu sudah tau. Yang ibu belum tau, kamu ngelamun apa ?" Tanyanya sekali lagi dengan nada sedikit serius. "Ah, ibu kepo nih. Yang penting saya tidak mengganggu pelajaran ibu kan"

"Keluar kamu. Tahun depan mengulang kembali mata kuliah saya!!!" Terbelalak ia menghardikku. Seperti malin kundang dikutuk ibunya menjadi tidak lulus dimata kuliah ini. Memang terkadang niat tak selamanya sejalan lurus dengan perilaku yang kita tunjukan. Sebetulnya hanya ingin mencairkan suasana yang tegang. Namun, terlanjur menyulut api dan membakar seluruh harapan semester ini.
"Siaal, tapi tak masalah. Menyesal hanyalah segala kesia-siaan yang tak berguna" cetusku sambil berlalu.
...
Gazebo sanggar sedikit ayep, anak-anak sepertinya masih sibuk dikelas masing-masing. Membaur dengan robotic yang berwujud manusia. Atau jangan-jangan ada beberapa dari kami juga manusia robot. Karena, tak jarang juga terlontar istilah membonekakan aktor atau memanusiakan manusia.

"Ko, tumben cepet kesini ? Diusir dari kelas lagi ? Atau terlambat masuk kelas ? Tapi terlambat sepertinya tidak mungkin". Pak sutradara tiba-tiba menyanggah lamunanku dari balik bilik gazebo.

"Yah, seperti biasa pak. Hidup serba penolakan ya begini ini" ia hanya tersenyum menanggapi kalimatku. Sebetulnya sutradara ini punya nama. Tapi, kebiasaan dipanggil sutradara aku pun lupa nama aslinya. Umurnya satu semester dibawahku.

"Ngopi dulu sini, ada dewi juga" pak sut menawariku kopi buatan si dewi. Yang aku sendiri pun tak memungkiri kenikmatan dari racikannya. Dan juga casablankanya yang selalu terselip dibalik aroma americanonya. Tapi, kadang aku merasa bilik ini seperti kafe kopi mahal dari pada dapur tempat anak-anak konsumsi berkegiatan sebelum disulap dewi.

Memang anak ini cantik, tapi ada sesuatu yang membuatku lupa dengan kecantikannya. Kopinya, yang kata orang racikan dari istriable. Tapi mana mungkin seorang perempuan cantik bahkan buruk rupa dan bodoh sekalipun mau dengan lelaki macam Sasongko ini. Benak ku mengutuk.

Wajah manisnya, dan kopi hitam digelas kaca memantulkan senyum dari bibirnya. Disela keluguannya ada tatapan nakal yang menggoda.
"Ko, monggo diminum" kata paksut memecah hening. "Bahari bagaimana ? Sudah siap menuju gladi ?" Tanyanya lagi ditengah sruputanku.
"Oh iya, aku rasa olah-olah tadi sudah cukup memadai kebutuhannya" ujarku menjelaskan.

Dewi hanya tersenyum memandangiku yang tak lepas dari bibir gelas kopi buatannya. "Ko, bantuin gua ambil bahan konsumsi dirumah yuk" dari balik keheningan bibirnya yang merekah. Terucap beberapa pinta untuk membantunya.
Dengan anggukan, aku langsung mendominasi kemana arah langkah menuju. Rumah dewi disimpang lima.

"Dirumah ada siapa dee ?" Basiku memecah hening sepanjang jalan. Rumahnya tak jauh dari tempat kami biasa latihan. Dan langkah kecil dari kaki-kaki kami saling bersautan ditanah.
"Ga ada siapa-siapa, Ko. Paling lala doang sendirian baru pulang sekolah jam segini" tukasnya seperti ingin sedikit curhat.
"Lalu, orang tua dimana ?" Pancingku sedikit terlalu ambisius. "Orang tua, nah nyokap bokap gua dijakarta. Gua sama lala tinggal dirumah sendiri biar mandiri. Mereka sibuk kerja tanpa merhatiin gua. Dan itu kenapa, gua walaupun ga bisa bermain peran tapi lebih milih gabung sama grup teater karena gua ngerasa disini keluarga yang sebenarnya. Dan gua berusaha bisa berguna buat kita" hampir menetes air matanya yang secara spontan diseka tangan kananku.
...

Gazebo kini dipenuhi tim produksi dan aktor. Aku masih sibuk dibilik membantu dewi menyiapkan konsumsi. "Udah, Ko. Itu biar disitu aja. Makasih ya" dewi mencoba menghentikanku dan mengambil alih bagian konsumsi sendirian.
"Dee, jangan khawatir. Kamu sudah bermain peran dengan sangat baik" ucapku sambil berlalu sebelum keningnya ku kecup hingga pipinya memerah.

Masing-masing bidang produksi memflorkan segala baik buruk yang dilalui setelah beberapa bulan jalan proses. Dan seperti biasa, meskipun banyak halangan dan rintangan. Mulai dari proses yang kurang serius hingga perdebatan masalah spele dengan satpam. Semuanya selalu berjalan lancar dan tinggal menuju panggung pementasan.

Gladi pun berlangsung dengan seksama. Jalannya pementasan tak terlalu kacau. Evaluasi demi evaluasi memenuhi ruang tempat kami berdialog. Waktu tak terasa begitu cepat. Dan kini, gelap merambat melalui bayangan pohon beringin dibelakang. "Ko, duluan ya" ujar dewi yang tak biasanya berpamitan padaku. Sambil tersenyum aku mengangguk.

"Gak dianterin, Ko ?" Tiba-tiba suara pak sut menyambut diantara anggukanku dan senyuman dewi. "Udah gede masa iya dianterin" godaku pada pak sut.
...

BAB 3

Pagi ini lumayan cerah. Matahari bersinar dibalik bukit suasana fajar begitu asik. Tanpa enggan, aku langsung menuju bilik digazebo tempat biasa kami latihan. "Ko, ngapain ? Sini biar gua aja" dewi langsung mengambil gelas ditanganku.
Biar kata aku ini lelaki. Kalau urusan cari masalah aku mending langsung mundur bila berhadapan dengan perempuan.

"Ini, Ko. Btw, tumben pagi begini sudah disini ?" Tanya dewi yang mencoba masuk ke dunia imajinasiku membaca naskah.
"Cerah, aroma mentari memancarkan hangatnya pada kita. Disambut aroma kopimu, dan tatapan hangat dari matamu membuat ku sedikit melupa. Tentang siapa aku, kau yang menjadi kita. Ndak apa-apa dee. Aku juga kaget liat kamu pagi-pagi sudah kemari. Sekalian persiapan buat entar malem" kataku mencoba menyamarkan maksud dari penggalan sajak yang terbersit dibenaku yang terucap.

Dewi sepertinya tersipu malu.
"Bagus, kata-katamu buat aku jadi putri pagi ini Ko."
Sambil kembali menyelam dalam naskah. Ku seruput kopi manis buatannya.
"Enak ya ? Kopi buatanku."
Ucapnya memelan.
"Coba saja," timpalku.
"Menurutmu gimana, Ko ?"
"Soal rasa dee. Bisa saja apa yang kita alami atau kopi yang kita icipi. Bisa saja rasanya berbeda. Mungkin soal selera atau soal kebiasaan."
Ia langsung menyeruput bibir gelas. Tepat dimana bekas bbirku menempel.
"Rasanya hangat. Ada rasa tembakaunya jadi gak gitu enak, Ko. Eh, ada wangi parfumku."
Katanya tersipu malu.
"Iya, kamu minumnya disitu. Coba disisi sebelah sini." Menunjuk bibir gelas yang belum berbekas. "Dan lagi pula, wangi parfummu menambah ciri khas dari kopimu yang ku suka."

Matanya tajam menatapku. Mencoba melumat habis bentuk wajahku.
"Ko, kenapa masih jomblo ?" Tiba-tiba kalimat itu terlontar dari bibirnya.
"Jomblo ? Lah, mungkin nunggu elu dapet pacar duluan kayaknya dee." Candaku.

"Serius! Ko. Kenapa ?" Tiba-tiba perbincangan kami mulai masuk kedalam privasi semata.
"Entahlah, jomblo atau enggak, bukan masalah dee." Kemudian ia mengangguk.

"Gue sayang sama elu, orang-orang disini dan tempat ini. Meskipun elu, atau orang-orang disini bahkan orang-orang kampus gak sayang sama gue. Gue tetep sayang sama kalian."

"Cie, pagi-pagi sudah disini rupanya kalian."
Pak sut tiba-tiba menyela pembicaraan kami.

"Kebetulan ntar malem kan udah pentas. Masa iya, kita ga kesini pagi-pagi buat siap-siap."
Dewi mengelak seperti kepergok mesum sama mantannya. Tapi entah lah, sepertinya si dewi ini orangnya bukan type perempuan yang mau-mau aja diajak begituan.
...

"Pak sut, ini kita gladi lagi gak ?" Tanya bahari seusai mempersiapkan properti dan segala bahan untuk setting panggung.
"Ga perlu, Har. Abis dzuhur langsung di angkat ke gedung pertunjukan aja." Perintahnya.

"Ko, bantuinlah sini." Pintanya.
"Iya, belum juga dzuhuran." Sambutku

"Sasongko, ga perlu ikut. Kamu aja sama yang lainnya." Pak sut menyela.
"Kamu disini aja, Ko. Ada yang mau gabung dari anak tari." Sambutnya.

"Wah, kau jangan gila ah. Ntar malem pentasnya, masa iya ada yang mau gabung siang ini."
"Ya kan gak apa-apa. Lagian yang mentas-mentas, yang nonton-nonton."

Ditengah kesibukan para tim pro yang gotong-gotong properti dan kostum. Aku duduk bersama dewi sembari menanti anak tari yang mau bergabung.
"Dee, setelah ini kamu main monolog ya ? Proses tiga bulan. Aku yang menyutradarai. Aku minta tolong banget nih." Aku Mencoba merayu hasratnya didunia peran.

"Gimana ya? Belum siap gue, Ko. Tapi gue fikir-fikir dulu deh."
"Yang penting lu mikirnya ga kelamaan. Gue udah bosen nungguin jawaban, dee."
"Tau deh, yang sering nunggu jawaban cuma buat ditolak doang. Hahaha..." Candanya meledakan tawa segazebo.

"Permisi, pak sutradaranya ada ?" Ditengah gazebo yang sedang meledak. Tiba-tiba seorang perempuan datang pada kami.

Tingginya sekitar 170cm dan perawakan ideal untuk seorang perempuan. Dari lekuk tubuhnya dan gaya bicaranya. Sepertinya, dia si anak tari.
"Masih bantuin tim pro usung-usung properti. Pean arek tari iku, mbak?" Dewi langsung mendominasi. Fikirku, si dewi ini ga bisa bahasa jawa sama sekali. Dan ternyata, wajahnya kuto tapi medoknya ndeso banget kalo udah keluar dialeg jawanya.
"Nggih, kulo Yanti. Bekas anak tari saya mbak. Hehe" jawabnya ramah.

Yanti, nama yang bagus untuk seorang perempuan. Rambut panjangnya yang ia biarkan tergurai nampak begitu indah. Kulitnya sawo matang begitu manis. Matanya yang bulat sedikit menyipit. Dengan hidung pesek dan bibir yang tipis dan agak tebal dibagian bawah. Ia nampak begitu pas untuk selera seorang lelaki dari kalangan bangsawan atau keraton keturunan raja.
"Gue, Dewi. Dan ini, Ko kenalan dulu gih." Dewi melempar percakapan ke aku.
"Sasongko, mbak. Yanti, nama yang pas buat mbak. Lengkapnya siap mbak ?"
"Kukuh Wijayanti, mas." Seraya hatiku berdegup setelah mendengar nama lengkap dari bibirnya yang indah.
"Monggo, duduk dulu." Dewi mempersilahkan.
"Tadi katanya bekas anak tari ya ? Memangnya kau, keluar atau bagaimana ?" Dengan sedikit penasaran dengan latar belakangnya aku bertanya.
"Aku masuk tari, karena kemauan mbah. Aku dari jogja. Sumpek sama tata krama disana yang mengharuskanku begini dan begitu. Akhirnya merantau kemari. Aslinya maunya ke luar negeri. Tapi, masih cinta indonesia aku mas. Aku ngerasa udah cukup didunia tari. Jadi ingin mencoba didunia seni peran."
"Pasti langsung nembak jadi aktor ?" Terkaku melirik dalam matanya.
"Kok tau mas ? Hehe"
"Keliatan kok. Mungkin sebelum masuk dunia peran. Kau harus ku ospek dulu. Ini, dewi. Coba buatkan koreografi buat mentas monolognya dia." Tukasku melemparkan telunjuk pada dewi.
Ia terpukau dan mengelak. "Kan belum pasti aku mau main, Ko."
.
.
Continue ---