Cinta, sosial, agama dan pengetahuan. Yang awalnya menjadi pembatas antara logika dan perasaan menjadi bentuk satuan karena haras yang meretakan bagian-bagian pondasi keangkuhanku. Yang meluluhkan kekokohan
dinding baja dihatimu.
|
illustrasi via pixabay |
BAB 1
Hari ini sedikit terik, tak
biasanya bagi daerah semi teropis yang selebihnya identik dengan dingin sehabis
penghujan. Aroma tanah masih menyatu dengan bau tubuh yang masih hangat.
"Kau masih belum mandi
?". Tanya bahari menatapku dengan penuh kecurigaan.
"Tak salah lagi. Itu
memang berasal dari tubuhku.".
"Sudah berapa minggu
setelah kau ditolak mentah-mentah jum'at bulan desember lalu ?".
"Oh, seminggu setelahnya".
"Gila, hampir 2 bulan
lewat". Teronjak ia tak menduga.
"Kalau sudah kenal,
mungkin akan biasa" Cetusku.
Lusa, itu sedetik lagi. Tak
begitu terasa hari yang dilewati tanpa kekosongan. "Lohan kemana ?"
Sambut pak sutradara. "Mungkin terlambat lagi ?". "Sebaiknya kau
gantikan saja" Sekiranya ucapanku menjadi solusi ngena untuk aktor pembantu
yang hampir tak pernah hadir sebulan proses latihan. Bahari menampilkan
ekspresi lucu bin jenaka tak mengiyakan saran dari aktor kelas kakap.
"Oke, har kau gantikan
dia. Setelah ini ikut Sasongko ke dapur proses. Biar dia yang menggodok
kamu" ujar sutradara.
"Apes, iya pak sut"
dari balik kelugesannya menyetujui kata sutradara. Tatapannya menghunus
kearahku.
"Kenapa bukan kau saja
yang menggantikannya ?. Sebagai asisten sutradara sekaligus aktor utama,
bukannya itu hal yang mudah ?"
"Kau fikir, tuhan
menurunkan rahmat serta rezeki kemuka bumi ini untukku makan sendiri ?. Kau
fikir hamba Tuhan hanya aku saja ?. Sudahlah, jangan banyak tanya jika hanya
menambah nafsumu untuk menjebak" Kalimatku sedikit membuatnya tergelalak.
...
"Ko, gak ikut latihan
lagi ?". Tanya dewi terheran memandangku menyungut rokok sambil bersender
telanjang dada dipilar gazebo.
"Ini latihan dee. Coba
kau lihat." Aku melempar pandanganku mengarah pada bahari yang sedang
bermain imajinasi. "Gue ga ngerti maksud lo, Ko" wajah polos gadis
itu terlalu lugu untuk berhadapan denganku.
"Jiancok, ayu-ayu kok
lemot. Sebagai pelaku seni. Setidaknya hidup kita sudah bisa dikatakan latihan
dee. Rokokku, bicaraku, tatapan mataku bahkan hembusan dan helaan nafas kita.
Proses berlatih dee" tuturku membuatnya sedikit risih.
"Iyo wes iyo, lek asu
wes ngomong gue bisa apa".
"Ini sudah belum ? Aku
capek" bengok bahari memecah kecanggungan yang ku buat. "Iya, kalau
capek istirahatlah. Jangan broadcast". Timpalku.
Setelah beberapa menit
terdiam akibat kecanggungan yang ku buat. Sesekali menatap dalam ke arahku dan
bahari. Dewi meletakan segelas kopi dan sebotol mineral disampingku kemudian
menghilang.
"Evaluasi aku ko"
pinta bahari.
"Imajinasimu kurang
penjiwaan. Kalau kau melayang. Ya setidaknya kau visualkan lewat gerak atau
vokal.".
"Nanti, orang mengira
aku gila".
"Cuma orang gila yang
mengira kau gila disini" bantahku. Ia menoleh sekitar dan mendapati
masing-masing sibuk dengan jobdes produksi.
Kopi yang dibuat dewi tadi ku
sentuh. Hangatnya masih tersimpan. Aroma khas yang begitu nikmat. Dan ada
sedikit aroma parfum casablanca yang dikenakan dewi tersangkut dikopi yang ku
sruput.
"Ini ada catetan buat
kau pelajari dan kita ketemu sore ini sebelum gladi. Aku ada kelas konseling jam
satu, nanti kita sambung lagi har." Tukasku mengakhiri sesi mentor kali
ini.
BAB 2
Angin berhembus membawa aroma
pada hidung yang menciumiku. Menghirup wangi tubuh, mengendus bukan mencumbu.
"Bau badan siapa nih ?!!!".
Lelaki gemuk didepanku berdiri membentak.
"Kalau tidak suka ya
jangan dicium". Ujarku pelan
"Anjrit. Bau lo ya
?". Katanya sambil membungkuk kearah ku. Posisi kami mirip di adegan film
crow zero.
"Ternyata, kelakuan lo
lebih busuk dari bau badan lo". Cetusnya mencari perkara.
Aku hanya terdiam tanpa
melakukan apa-apa.
"Emang ya, anak teater
dimana-mana selalu belagu, songong macam berandal, gembel dan gak jelas".
Hinanya menambah suram suasana kelas.
"Ni bocah siapa sih ?
Selama ane disini ga pernah liat ini orang. Ah, kacau." Dalam hatiku
berucap. Batinku sedikit tak tenang. Namun, olah nafas selalu bisa jadi
alternatif untuk meredam gejolak batin.
Sedikit miris, dengan
ucapannya. Ingin sekali melempar bogem mentah pada bibirnya. Tapi, kenyataannya
memang pelaku seni identik buruk dimata para masyarakat. Ya, walaupun pelaku
seni saat ini belum pernah ada yang menjadi koruptor dan sejenisnya.
Kelas, terasa membosankan.
Bukan karena materinya atau dosen pengampunya. Tapi, memang orang-orang
didalamnya tidak benar-benar hidup. Meski suasana diskusi dibangun untuk lebih
hidup. Tapi jiwa manusianya tak hidup. Mungkin kebiasaan-kebiasaan culturiahnya
masih terbawa dan susah dilepas. Topeng-topeng yang digunakan masih terlalu
kolot dan kaku. Terlalu mudah ditebak untuk model penipu awam.
"Sasongko, kamu ngelamun
apa ?". Tiba-tiba dosen pengampu meledakan isi kepalaku. "Jan... Iya
bu ? Saya, sasongko semester 12" Hampir keluar kata-kata mutiara dari
bibirku. "Iya, ibu sudah tau. Yang ibu belum tau, kamu ngelamun apa
?" Tanyanya sekali lagi dengan nada sedikit serius. "Ah, ibu kepo
nih. Yang penting saya tidak mengganggu pelajaran ibu kan"
"Keluar kamu. Tahun
depan mengulang kembali mata kuliah saya!!!" Terbelalak ia menghardikku.
Seperti malin kundang dikutuk ibunya menjadi tidak lulus dimata kuliah ini.
Memang terkadang niat tak selamanya sejalan lurus dengan perilaku yang kita
tunjukan. Sebetulnya hanya ingin mencairkan suasana yang tegang. Namun,
terlanjur menyulut api dan membakar seluruh harapan semester ini.
"Siaal, tapi tak masalah.
Menyesal hanyalah segala kesia-siaan yang tak berguna" cetusku sambil
berlalu.
...
Gazebo sanggar sedikit ayep,
anak-anak sepertinya masih sibuk dikelas masing-masing. Membaur dengan robotic
yang berwujud manusia. Atau jangan-jangan ada beberapa dari kami juga manusia
robot. Karena, tak jarang juga terlontar istilah membonekakan aktor atau
memanusiakan manusia.
"Ko, tumben cepet kesini
? Diusir dari kelas lagi ? Atau terlambat masuk kelas ? Tapi terlambat
sepertinya tidak mungkin". Pak sutradara tiba-tiba menyanggah lamunanku dari
balik bilik gazebo.
"Yah, seperti biasa pak.
Hidup serba penolakan ya begini ini" ia hanya tersenyum menanggapi
kalimatku. Sebetulnya sutradara ini punya nama. Tapi, kebiasaan dipanggil
sutradara aku pun lupa nama aslinya. Umurnya satu semester dibawahku.
"Ngopi dulu sini, ada
dewi juga" pak sut menawariku kopi buatan si dewi. Yang aku sendiri pun
tak memungkiri kenikmatan dari racikannya. Dan juga casablankanya yang selalu
terselip dibalik aroma americanonya. Tapi, kadang aku merasa bilik ini seperti
kafe kopi mahal dari pada dapur tempat anak-anak konsumsi berkegiatan sebelum
disulap dewi.
Memang anak ini cantik, tapi
ada sesuatu yang membuatku lupa dengan kecantikannya. Kopinya, yang kata orang
racikan dari istriable. Tapi mana mungkin seorang perempuan cantik bahkan buruk
rupa dan bodoh sekalipun mau dengan lelaki macam Sasongko ini. Benak ku
mengutuk.
Wajah manisnya, dan kopi
hitam digelas kaca memantulkan senyum dari bibirnya. Disela keluguannya ada
tatapan nakal yang menggoda.
"Ko, monggo
diminum" kata paksut memecah hening. "Bahari bagaimana ? Sudah siap
menuju gladi ?" Tanyanya lagi ditengah sruputanku.
"Oh iya, aku rasa
olah-olah tadi sudah cukup memadai kebutuhannya" ujarku menjelaskan.
Dewi hanya tersenyum
memandangiku yang tak lepas dari bibir gelas kopi buatannya. "Ko, bantuin
gua ambil bahan konsumsi dirumah yuk" dari balik keheningan bibirnya yang
merekah. Terucap beberapa pinta untuk membantunya.
Dengan anggukan, aku langsung
mendominasi kemana arah langkah menuju. Rumah dewi disimpang lima.
"Dirumah ada siapa dee
?" Basiku memecah hening sepanjang jalan. Rumahnya tak jauh dari tempat kami
biasa latihan. Dan langkah kecil dari kaki-kaki kami saling bersautan ditanah.
"Ga ada siapa-siapa, Ko.
Paling lala doang sendirian baru pulang sekolah jam segini" tukasnya
seperti ingin sedikit curhat.
"Lalu, orang tua dimana
?" Pancingku sedikit terlalu ambisius. "Orang tua, nah nyokap bokap
gua dijakarta. Gua sama lala tinggal dirumah sendiri biar mandiri. Mereka sibuk
kerja tanpa merhatiin gua. Dan itu kenapa, gua walaupun ga bisa bermain peran
tapi lebih milih gabung sama grup teater karena gua ngerasa disini keluarga
yang sebenarnya. Dan gua berusaha bisa berguna buat kita" hampir menetes
air matanya yang secara spontan diseka tangan kananku.
...
Gazebo kini dipenuhi tim
produksi dan aktor. Aku masih sibuk dibilik membantu dewi menyiapkan konsumsi.
"Udah, Ko. Itu biar disitu aja. Makasih ya" dewi mencoba
menghentikanku dan mengambil alih bagian konsumsi sendirian.
"Dee, jangan khawatir.
Kamu sudah bermain peran dengan sangat baik" ucapku sambil berlalu sebelum
keningnya ku kecup hingga pipinya memerah.
Masing-masing bidang produksi
memflorkan segala baik buruk yang dilalui setelah beberapa bulan jalan proses.
Dan seperti biasa, meskipun banyak halangan dan rintangan. Mulai dari proses
yang kurang serius hingga perdebatan masalah spele dengan satpam. Semuanya selalu
berjalan lancar dan tinggal menuju panggung pementasan.
Gladi pun berlangsung dengan
seksama. Jalannya pementasan tak terlalu kacau. Evaluasi demi evaluasi memenuhi
ruang tempat kami berdialog. Waktu tak terasa begitu cepat. Dan kini, gelap
merambat melalui bayangan pohon beringin dibelakang. "Ko, duluan ya"
ujar dewi yang tak biasanya berpamitan padaku. Sambil tersenyum aku mengangguk.
"Gak dianterin, Ko ?"
Tiba-tiba suara pak sut menyambut diantara anggukanku dan senyuman dewi.
"Udah gede masa iya dianterin" godaku pada pak sut.
...
BAB 3
Pagi ini lumayan cerah.
Matahari bersinar dibalik bukit suasana fajar begitu asik. Tanpa enggan, aku langsung
menuju bilik digazebo tempat biasa kami latihan. "Ko, ngapain ? Sini biar
gua aja" dewi langsung mengambil gelas ditanganku.
Biar kata aku ini lelaki.
Kalau urusan cari masalah aku mending langsung mundur bila berhadapan dengan
perempuan.
"Ini, Ko. Btw, tumben
pagi begini sudah disini ?" Tanya dewi yang mencoba masuk ke dunia imajinasiku
membaca naskah.
"Cerah, aroma mentari memancarkan hangatnya pada kita. Disambut aroma
kopimu, dan tatapan hangat dari matamu membuat ku sedikit melupa. Tentang siapa
aku, kau yang menjadi kita. Ndak apa-apa dee. Aku juga kaget liat kamu
pagi-pagi sudah kemari. Sekalian persiapan buat entar malem" kataku
mencoba menyamarkan maksud dari penggalan sajak yang terbersit dibenaku yang terucap.
Dewi sepertinya tersipu malu.
"Bagus, kata-katamu buat
aku jadi putri pagi ini Ko."
Sambil kembali menyelam dalam
naskah. Ku seruput kopi manis buatannya.
"Enak ya ? Kopi
buatanku."
Ucapnya memelan.
"Coba saja,"
timpalku.
"Menurutmu gimana, Ko
?"
"Soal rasa dee. Bisa
saja apa yang kita alami atau kopi yang kita icipi. Bisa saja rasanya berbeda.
Mungkin soal selera atau soal kebiasaan."
Ia langsung menyeruput bibir
gelas. Tepat dimana bekas bbirku menempel.
"Rasanya hangat. Ada
rasa tembakaunya jadi gak gitu enak, Ko. Eh, ada wangi parfumku."
Katanya tersipu malu.
"Iya, kamu minumnya
disitu. Coba disisi sebelah sini." Menunjuk bibir gelas yang belum
berbekas. "Dan lagi pula, wangi parfummu menambah ciri khas dari kopimu
yang ku suka."
Matanya tajam menatapku.
Mencoba melumat habis bentuk wajahku.
"Ko, kenapa masih jomblo
?" Tiba-tiba kalimat itu terlontar dari bibirnya.
"Jomblo ? Lah, mungkin
nunggu elu dapet pacar duluan kayaknya dee." Candaku.
"Serius! Ko. Kenapa
?" Tiba-tiba perbincangan kami mulai masuk kedalam privasi semata.
"Entahlah, jomblo atau
enggak, bukan masalah dee." Kemudian ia mengangguk.
"Gue sayang sama elu,
orang-orang disini dan tempat ini. Meskipun elu, atau orang-orang disini bahkan
orang-orang kampus gak sayang sama gue. Gue tetep sayang sama kalian."
"Cie, pagi-pagi sudah
disini rupanya kalian."
Pak sut tiba-tiba menyela
pembicaraan kami.
"Kebetulan ntar malem
kan udah pentas. Masa iya, kita ga kesini pagi-pagi buat siap-siap."
Dewi mengelak seperti
kepergok mesum sama mantannya. Tapi entah lah, sepertinya si dewi ini orangnya
bukan type perempuan yang mau-mau aja diajak begituan.
...
"Pak sut, ini kita gladi
lagi gak ?" Tanya bahari seusai mempersiapkan properti dan segala bahan
untuk setting panggung.
"Ga perlu, Har. Abis
dzuhur langsung di angkat ke gedung pertunjukan aja." Perintahnya.
"Ko, bantuinlah
sini." Pintanya.
"Iya, belum juga
dzuhuran." Sambutku
"Sasongko, ga perlu
ikut. Kamu aja sama yang lainnya." Pak sut menyela.
"Kamu disini aja, Ko.
Ada yang mau gabung dari anak tari." Sambutnya.
"Wah, kau jangan gila ah.
Ntar malem pentasnya, masa iya ada yang mau gabung siang ini."
"Ya kan gak apa-apa.
Lagian yang mentas-mentas, yang nonton-nonton."
Ditengah kesibukan para tim
pro yang gotong-gotong properti dan kostum. Aku duduk bersama dewi sembari
menanti anak tari yang mau bergabung.
"Dee, setelah ini kamu
main monolog ya ? Proses tiga bulan. Aku yang menyutradarai. Aku minta tolong
banget nih." Aku Mencoba merayu hasratnya didunia peran.
"Gimana ya? Belum siap
gue, Ko. Tapi gue fikir-fikir dulu deh."
"Yang penting lu
mikirnya ga kelamaan. Gue udah bosen nungguin jawaban, dee."
"Tau deh, yang sering
nunggu jawaban cuma buat ditolak doang. Hahaha..." Candanya meledakan tawa
segazebo.
"Permisi, pak
sutradaranya ada ?" Ditengah gazebo yang sedang meledak. Tiba-tiba seorang
perempuan datang pada kami.
Tingginya sekitar 170cm dan
perawakan ideal untuk seorang perempuan. Dari lekuk tubuhnya dan gaya
bicaranya. Sepertinya, dia si anak tari.
"Masih bantuin tim pro
usung-usung properti. Pean arek tari iku, mbak?" Dewi langsung mendominasi.
Fikirku, si dewi ini ga bisa bahasa jawa sama sekali. Dan ternyata, wajahnya
kuto tapi medoknya ndeso banget kalo udah keluar dialeg jawanya.
"Nggih, kulo Yanti.
Bekas anak tari saya mbak. Hehe" jawabnya ramah.
Yanti, nama yang bagus untuk
seorang perempuan. Rambut panjangnya yang ia biarkan tergurai nampak begitu
indah. Kulitnya sawo matang begitu manis. Matanya yang bulat sedikit menyipit.
Dengan hidung pesek dan bibir yang tipis dan agak tebal dibagian bawah. Ia
nampak begitu pas untuk selera seorang lelaki dari kalangan bangsawan atau keraton
keturunan raja.
"Gue, Dewi. Dan ini, Ko
kenalan dulu gih." Dewi melempar percakapan ke aku.
"Sasongko, mbak. Yanti,
nama yang pas buat mbak. Lengkapnya siap mbak ?"
"Kukuh Wijayanti, mas."
Seraya hatiku berdegup setelah mendengar nama lengkap dari bibirnya yang indah.
"Monggo, duduk
dulu." Dewi mempersilahkan.
"Tadi katanya bekas anak
tari ya ? Memangnya kau, keluar atau bagaimana ?" Dengan sedikit penasaran
dengan latar belakangnya aku bertanya.
"Aku masuk tari, karena
kemauan mbah. Aku dari jogja. Sumpek sama tata krama disana yang mengharuskanku
begini dan begitu. Akhirnya merantau kemari. Aslinya maunya ke luar negeri.
Tapi, masih cinta indonesia aku mas. Aku ngerasa udah cukup didunia tari. Jadi
ingin mencoba didunia seni peran."
"Pasti langsung nembak
jadi aktor ?" Terkaku melirik dalam matanya.
"Kok tau mas ?
Hehe"
"Keliatan kok. Mungkin
sebelum masuk dunia peran. Kau harus ku ospek dulu. Ini, dewi. Coba buatkan
koreografi buat mentas monolognya dia." Tukasku melemparkan telunjuk pada
dewi.
Ia terpukau dan mengelak.
"Kan belum pasti aku mau main, Ko."
.
.
Continue ---