Secawan Rindu Randu
Karya : Ridho Mln
"Badai, dalam gelapnya malam.
Tersibak oleh
cahaya rembulan.
Bidadari embun memetik jumpa
pada ranum pertemuan
sepersinggah"
Sepucuk surat terselip
diantara cawan yang terbalik berjejer rapi diatas meja makan. Piring-piring
serta sendok, garpu dan pisau makan mengkilat bersih menumpuk manis dirak-rak
piring.
Dari balik tirai putih, yang
membalut jendela kaca. Cahaya senja fajar mengintip Randu yang sedang pulas. Berbelit
selimut putih ia nampak nyenyak dan berantakan. Ruangan serba putih begitu
kacau dari salah satu sudut kamar.
Diatas meja, tertata rapi
buku-buku. sepertinya ia seorang penyuka buku. Meskipun tak sering beberapa
buku habis dibacanya. Disetiap sisi meja, terdapat juga beberapa potret. Salah
satunya, sosok seorang perempuan mengenakan baju terusan berwarna putih polos
era 80an. Dengan rambut panjang yang dibiarkan tergurai. Dan disebelahnya, jam
waker siap menggaduh.
Suara alarm memenuhi seisi
ruangan. Dentingnya memekakan kupingnya.
"Ndu, tolong
alarmnya" dari balik selimut yang membelit, dengan bantal menutupi
sebagian kepalanya.
Tak ada jawaban, dari
sekitarnya. Ia hanya terbaring dan menahan.
"Windu, tolong!!!"
Gerayangan suaranya memecah menyatu dengan kegaduhan. Dadanya yang bidang
bangkit dari setengah kesadarannya. Bergerak menghentikan kegaduhan yang bersumber
dari alarmnya.
"Ndu, kamu dimana
?" Tak beranjak, suaranya seolah menelusuri disetiap sudut ruangan mencari.
Rumah itu nampak sepi dan
terawat. Dengan dominan putih yang mencolok. Tak jarang beberapa orang merasa
kagum atas bangunan dan dekorasinya. Yang terletak disebuah perumahan dekat
dengan Idjen Boulevard.
Kini, kesadarannya mulai
diambang batas. Langkah kakinya kokoh menelusuri setiap petak bangunan itu.
Diruang tengah, segelas kopi coklat terparkir manis dimeja dekat sofa. Semilir
aroma Windu terhuyung angin sepoi.
Dihirupnya sejenak, tiba-tba
diluar nampak mendung, guntur menggelegar. Hujan pun mengguyur.
"Kemana, Ndu ?"
Kekosongan membuatnya semakin bertanya-tanya.
Diangkatnya secawan kopi
beraroma coklat bersama hangat Randu melangkah. Menapaki beberapa petak
bangunan yang tak asing. Tubuhnya berhenti paa ruang yang disukai Windu. Hujan
menderas, langit menghitam.
Gerakannya memelan,
langkahnya terkatup-katup. Jantungnya berdebar pelan, tangannya menjamah
singkat pada sepucuk surat yang terselip diantara cawan.
Matanya membinar, gemetar
bibirnya membaca lirih dalam hati. Matanya mengeja, merangkul kata demi kata.
"Windu gak bisa, bang.
Windu sayang sama abang. Windu gak mau abang kecewa. Tapi, Windu lebih gak mau
lagi bikin abang jadi makin tersesat. Windu terpaksa pergi, untuk bang Randu.
Lain kali, kita ketemu lagi dengan keadaan yang berbeda dan lebih baik dari
saat ini. Salam hangat serta sayang dari kekasihmu, sekaligus adik kembarmu.
Windu Wijiastuti".
The End
0 Komentar
Penulisan markup di komentar