"Bubuih
bulan, angin menari...
Semilir
embun turun berjatuhan...
Bubuih
bulan, dedaunan melambai..
Semilir
hujan turun berdesakan"
Subuh itu dingin. Embun bekas
semalam bertengger manis direrumputan. Aroma tanah basah sehabis dihujam hujan
semalam. Menjadi tanda cerah pagi ini.
Menyumbul mentari malu-malu
dari balik bukit dilembah gunung. Merah menyala tersibak jingga diantara
kuning. Dingin sejuk jadi satu, tegas panas jadi sayu.
Kekuatan adalah merah, meski
merah tak selalu panas. Dingin yang merah menjadi amarah bagi pagi. Menyikut
ngilu bagian pertulangan.
Pagi yang cerah sejuk dan
hangat meski dingin dibalik bukit terhimpit cahayanya.
Menjadi keceriaan lambang
dari warna kuning yang serta merta senang menyinari berkolaborasi hawa menjadi
sejuk karena panas dan dingin.
Jingga menjadi sejuk. Hati
tentram, memandang langit penuh mesra. Sungai bening mengalir dari gunung. Tak
sabar sore datang menjelang. Kejinggaan merentangkan tangan siap memeluk hati
yang temaran.
"Dinda, bersamamu
seperti mengantongi bintang. Matahari disiang hari dan bulan dimalam hari.
Dinda, selepas pergi dan sekembali pulang. Seperti menjumpai senja dipagi dan
sore hari."
"Akang, suara angsa
sedikit parau. Suara bangau sedikit bening. Akang, yang pandai merayu. Selalu
menentramkan hati eneng"
"Dinda, merahku dan
kuningmu. Semoga selalu berpadu menjadi jingga"
"Akang, nyanyian bangau
tak pernah letih menemani kita"
Langkah ku beradu dengan
aspal. Kulit dengan lapis hem putih berseliweran dengan angin. Lagu lama
terkulai kembali diujung kuping. Menemani hingga tiba diperaduan.
Rasa cinta mampu merubah
lelah. Menjadi semangat yang membara. Rasa cinta mampu membuat duka. Menjadi
suka yang membara. Rasa cinta melahirkan jingga pada merah dan kuning yang
saling berpagutan diujung sana.
Bias merah memudar, karena
cahaya itu gelombang. Gelombang perasaan yang ditangkap oleh rasa. Dipancarkan
dari perilaku karena merasa. Cahaya adalah kita.
0 Komentar
Penulisan markup di komentar